Widget HTML #1

AIM ForU Blogger Blogspot

Bagaimana Mengoptimalkan Keuangan Rumah Sakit & Klaim BPJS?

Pelajari strategi keuangan Rumah Sakit untuk meningkatkan efisiensi dan mempercepat proses klaim BPJS yang sering terlambat.

Pelajari strategi keuangan Rumah Sakit, tentang bagaimana cara untuk meningkatkan efisiensi dan mempercepat proses klaim BPJS yang sering terlambat?.

Blogger Health ~ Manajemen SDM Rumah Sakit

Pengelolaan Keuangan Rumah Sakit sering terhambat oleh proses klaim BPJS yang lambat, mengakibatkan likuiditas terganggu. Salah satu solusinya adalah menerapkan sistem coding klaim yang sangat akurat. Namun, benarkah kesalahan kecil pada coding bisa menyebabkan kerugian hingga ratusan juta, dan bagaimana cara meminimalkan risiko ini?



Membongkar Sengkarut Likuiditas: 

Jantung Keuangan Rumah Sakit di Bawah Bayang-Bayang Klaim BPJS

Di mata publik, rumah sakit (RS) adalah pusat penyembuhan, tempat di mana teknologi medis canggih dan keahlian manusia bersatu untuk melawan penyakit. Namun, dari sudut pandang internal—terutama bagi Manajer Keuangan dan Direksi—RS adalah sebuah entitas kompleks yang menghadapi tantangan likuiditas harian yang brutal. Tantangan terbesar, dan paling persisten di Indonesia saat ini, adalah ketergantungan masif pada pendapatan dari Klaim BPJS Kesehatan.

Klaim yang diajukan hari ini mungkin baru dicairkan 60 hingga 90 hari kemudian—jika tidak ada penolakan. Periode tunggu yang panjang ini menciptakan jurang cash flow yang menganga. Bagaimana mungkin sebuah RS membeli obat esensial, membayar gaji perawat, dan menjaga peralatan tetap berfungsi optimal, ketika 80% hingga 90% pendapatan utamanya terikat dalam bentuk piutang?

Inilah mengapa efektivitas manajemen sangat krusial. Sebelum kita menyelami strategi finansial dan transaksional yang spesifik, sangat penting untuk memahami dasar-dasarnya. Pelajari lebih lanjut tentang Apa Itu Manajemen Rumah Sakit dan Kenapa Wajib Efektif?


Filosofi Keuangan RS: 

Menjaga Keseimbangan Misi Sosial dan Profitabilitas

Rumah sakit beroperasi di atas dua pilar yang sering bertentangan. Di satu sisi, ada misi sosial dan kemanusiaan untuk memberikan pelayanan terbaik tanpa memandang biaya. Di sisi lain, ada tuntutan keberlanjutan bisnis—RS harus menghasilkan surplus untuk berinvestasi, meningkatkan fasilitas, dan menyejahterakan karyawannya.


Anatomis Risiko Keuangan: 

Piutang Klaim (AR) dan Dampaknya pada Gaji Staf

Dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), piutang (Account Receivable atau AR) Klaim BPJS adalah aset paling besar, sekaligus paling rentan. Keterlambatan pengembalian dana ini, yang dikenal sebagai AR Aging, langsung mengancam Keuangan Rumah Sakit.

Bayangkan sebuah RS regional dengan total klaim bulanan sebesar Rp 5 Miliar. Jika rata-rata AR turnover adalah 90 hari, maka selalu ada Rp 15 Miliar (setara tiga bulan operasional) yang terjebak di BPJS. Jika pembayaran mengalami delay 30 hari lagi, risiko nyata muncul:

  • Gangguan Pembelian Obat: RS tidak bisa membeli obat dan alat kesehatan dari supplier tepat waktu.

  • Keterlambatan Gaji: Karyawan, termasuk dokter dan perawat, merasakan dampaknya langsung pada remunerasi mereka.

  • Hukuman Pemasok: RS terkena denda keterlambatan atau kehilangan diskon, meningkatkan Efisiensi Biaya operasional secara keseluruhan.

Risiko ini menuntut kita untuk menguasai konsep Revenue Cycle Management (RCM), yaitu seluruh proses mulai dari registrasi pasien, layanan, billing, hingga pencairan dana. RCM yang buruk adalah akar dari likuiditas yang terganggu.


Tabel Perbandingan: 

FFS vs. INA-CBG's dan Batasan Margin

Transisi dari sistem Fee-for-Service (FFS) ke tarif paket INA-CBG's adalah perubahan paradigma terbesar yang membatasi kemampuan RS untuk menghasilkan margin.

Aspek Fee-for-Service (FFS) – Era Lama Tarif Paket INA-CBG's – Era JKN
Dasar Pembayaran Setiap tindakan/item dibayar terpisah. Pembayaran tunggal per diagnosis/kelompok kasus.
Risiko Keuangan Ditanggung oleh Pembayar (Pasien/Asuransi). Ditanggung sepenuhnya oleh Rumah Sakit.
Fokus Utama RS Meningkatkan volume dan jenis tindakan. Efisiensi Biaya dan akurasi coding.
Dampak Margin Potensi margin besar, tetapi sering over-utilization. Margin tipis, tergantung kemampuan RS mengontrol biaya di bawah tarif paket.

RS kini tidak bisa lagi hanya fokus pada volume. Mereka harus fokus pada nilai (value) dan Efisiensi Biaya untuk bertahan.



Pilar 1: 

Strategi Pengelolaan Keuangan Rumah Sakit untuk Menciptakan Surplus (Cost Containment)

Mengingat plafon pendapatan dibatasi oleh Regulasi Tarif INA-CBG's, satu-satunya cara untuk meningkatkan margin adalah dengan menguasai Efisiensi Biaya. Ini memerlukan analisis mendalam dan bukan sekadar pemotongan acak.


Manajemen Logistik dan Farmasi: 

Mengendalikan 60% Biaya Operasional

Biaya logistik (obat, Alkes, bahan habis pakai) sering menjadi pos terbesar dalam laporan Keuangan Rumah Sakit, bisa mencapai 40% hingga 60% dari total biaya operasional. Pengendalian di sini adalah kunci.

Implementasi Sistem Just-In-Time (JIT) yang Cerdas

Sistem JIT bertujuan untuk meminimalkan safety stock dan dead stock (stok yang kedaluwarsa atau tidak terpakai), sehingga mengurangi biaya penyimpanan dan risiko kerugian.

  • Audit Stok Mati: Identifikasi obat atau Alkes yang memiliki perputaran lambat (>6 bulan) dan hentikan pembeliannya.

  • Negosiasi Term Pembayaran: Manajer Keuangan harus bernegosiasi dengan supplier untuk mendapatkan term pembayaran yang lebih panjang, misalnya dari 30 hari menjadi 60 atau 90 hari. 
    • Ini secara efektif menggunakan dana supplier untuk menopang likuiditas RS saat menunggu Klaim BPJS cair.

  • Formularium yang Ketat: Pastikan komite medis mematuhi Formularium Nasional (Fornas) dan hanya menggunakan obat non-Fornas dalam kasus yang benar-benar ekstrem dan terdokumentasi, untuk menghindari outlier cost.


Akuntansi RS Berbasis Aktivitas (Activity-Based Costing/ABC) sebagai Mata Analisis

Jika RS tidak mengetahui biaya riil per tindakan atau per pasien, maka mereka hanya berjudi dengan tarif paket. Akuntansi RS modern harus beralih ke ABC untuk memahami struktur biaya yang sebenarnya.

Langkah-Langkah Sederhana Implementasi ABC:

  • Identifikasi Cost Pool: Kelompokkan semua biaya overhead (listrik, administrasi, cleaning service) ke dalam wadah biaya.

  • Identifikasi Cost Driver: Tentukan pemicu biaya. 

    • Contoh: Waktu penggunaan listrik per departemen, atau jumlah klaim yang diproses.

  • Alokasi Biaya: Distribusikan biaya overhead ke layanan klinis spesifik. 

    • Misalnya, hitung biaya riil dari setiap jam penggunaan CT Scan atau biaya riil per malam rawat inap.


Dengan ABC, RS dapat mengidentifikasi secara pasti:

  • Layanan yang Merugi: Misalnya, ternyata biaya riil untuk kasus 'Tifoid tanpa komplikasi' adalah Rp 3 juta, padahal tarif INA-CBG's hanya Rp 2.5 juta. 
    • Solusinya: revisi clinical pathway untuk mengurangi LOS atau penggunaan Alkes yang tidak perlu.

  • Layanan yang Menguntungkan: Misalnya Medical Check-Up (MCU) yang dibayar self-pay atau layanan unggulan non-JKN.


Menurut Blogger Health, kegagalan RS untuk berinvestasi dalam sistem Akuntansi RS berbasis biaya riil adalah silent killer bagi likuiditas. 

Mereka terus mengoperasikan layanan yang merugi tanpa disadari, di mana defisit tersebut ditutup dengan cross-subsidy dari layanan yang menguntungkan. Akibatnya, RS tidak pernah tahu di mana letak inefisiensi sesungguhnya.



Pilar 2: 

Kecepatan dan Akurasi Klaim BPJS—Dari Piutang ke Kas dalam Hitungan Hari

Kecepatan pencairan Klaim BPJS berbanding lurus dengan akurasi pengajuan. Menguasai tahap ini adalah kunci Keuangan Rumah Sakit yang stabil.


Menguasai Bahasa Finansial Medis: 

Clinical Coding yang Anti-Defisit

Tim koder medis (terutama yang bersertifikat) adalah salah satu departemen paling penting dalam siklus RCM. Mereka mengubah catatan medis menjadi kode diagnosis (ICD-10) dan kode prosedur (ICD-9-CM) yang menentukan nilai klaim paket INA-CBG's.

Peran Ganda Coding dan Risiko Ratusan Juta

  • Under-coding (Kerugian): Ini terjadi ketika dokter atau koder gagal mencantumkan diagnosis sekunder atau komplikasi yang sah.
    • Contoh Nyata: Pasien masuk dengan Patah Tulang Terbuka (diagnosis utama) namun juga menderita Diabetes Melitus Terkontrol (diagnosis sekunder). 

      • Jika diabetesnya tidak dikode, maka nilai paket yang dibayar akan jauh lebih rendah. Perbedaan nilai paket bisa mencapai puluhan juta per kasus komplikasi besar. 

      • Kesalahan sistematis seperti ini bisa menyebabkan kerugian akumulatif hingga ratusan juta per bulan.

  • Up-coding (Risiko Fraud): Ini adalah praktik menaikkan kode dengan sengaja untuk mendapatkan nilai paket yang lebih tinggi. 
    • Praktik ini ilegal dan berisiko tinggi terhadap audit BPJS Kesehatan.

Strategi terbaik adalah Maksimal Coding yang Akurat—memastikan setiap detail layanan dan komplikasi yang diberikan dicatat, didokumentasikan, dan dikode secara sah sesuai Regulasi Tarif.


Tabel Perbandingan: 

Coder vs. Verifikator BPJS

Kolaborasi antara tim internal (Coder) dan eksternal (Verifikator) sangat menentukan hasil klaim.

Posisi Tugas Utama Fokus/Prioritas
Coder Internal RS Menerjemahkan rekam medis (RM) ke kode ICD-10/ICD-9-CM, membuat e-klaim (SEP). Maksimalisasi pendapatan berdasarkan kelengkapan RM, memastikan coding akurat & lengkap.
Verifikator Internal RS Melakukan pre-claim check, memverifikasi kelengkapan berkas sebelum dikirim ke BPJS. Minimalisasi dispute dan penolakan, memastikan kepatuhan terhadap Regulasi Tarif dan RME.
Verifikator BPJS Menganalisis e-klaim dan RM untuk menentukan kelayakan pembayaran sesuai Regulasi Tarif INA-CBG's. Kontrol Biaya dan Kepatuhan, mencari potensi fraud atau under-utilization biaya.


Audit Internal Klaim (Pre-Claim Check) dan Penanganan Dispute Lanjutan

Langkah transaksional yang paling efektif untuk percepatan klaim adalah melakukan verifikasi internal yang ketat sebelum berkas meninggalkan RS.

Panduan Strategi Pre-Claim Check

  • Validasi Dokumen: Pastikan discharge summary (ringkasan pasien pulang) sudah ditandatangani DPJP dan mencantumkan semua diagnosis dan prosedur.

  • Kesesuaian Data: Cek konsistensi antara kode (hasil koding), Alkes yang digunakan (hasil farmasi), dan lama rawat (LOS). 

    • Ketidakcocokan di sini sering memicu penolakan.

  • Simulasi INA-CBG's: Gunakan tool SIMRS untuk mensimulasikan nilai paket yang akan didapatkan. 

    • Jika nilai hasil simulasi terlalu rendah, segera kembalikan berkas ke coder dan DPJP untuk review kelengkapan dokumentasi.

Strategi Tindakan Banding (Dispute BPJS)

Penolakan klaim (dispute) adalah hal yang tidak terhindarkan. Kuncinya adalah penanganan yang cepat dan agresif.

  • Alokasi Tim Khusus: Tunjuk tim kecil yang didedikasikan hanya untuk menangani klaim yang ditolak.

  • Analisis Akar Masalah: Klasifikasikan penolakan (misalnya: 'Dokumen tidak lengkap', 'Kode tidak valid', 'LOS melebihi standar'). 

    • Gunakan data ini untuk memperbaiki proses di hulu.

  • Banding Cepat dan Terstruktur (HowTo): Waktu banding sangat singkat (umumnya 7-14 hari kerja). 
    • Siapkan dokumen pendukung tambahan (resume medis lengkap, hasil lab/radiologi yang relevan). 

    • Fokus pada pembuktian klinis yang mendukung kode yang diklaim. 

    • Berkas banding yang tebal dan terstruktur memiliki peluang lebih tinggi untuk diterima.



Pilar 3: 

Integrasi SIMRS dan Strategi Likuiditas untuk Mengatasi Pembayaran BPJS yang Lambat

Infrastruktur teknologi yang kuat adalah prasyarat bagi RS yang ingin mencapai tingkat Efisiensi Biaya dan kecepatan klaim tertinggi.


Peran Vital SIMRS dalam Otomatisasi Klaim

SIMRS yang terintegrasi penuh (mulai dari RME hingga billing dan Akuntansi RS) mengubah proses yang tadinya manual dan rentan kesalahan menjadi otomatis.

  • Integrasi Seamless RME-Coding: Idealnya, SIMRS menggunakan kecerdasan buatan (AI) atau algoritma berbasis aturan untuk mengusulkan kode diagnosis dan prosedur ICD secara otomatis berdasarkan catatan RME yang dibuat DPJP. 
    • Ini secara drastis mengurangi waktu koding dari hari menjadi jam.

  • Real-Time AR Aging Dashboard: Manajer Keuangan Rumah Sakit harus memiliki dashboard yang menunjukkan status klaim BPJS secara real-time: 
      • berapa klaim yang sedang diverifikasi, 

      • berapa yang sudah dispute, dan 

      • berapa yang sudah jatuh tempo bayar. 

    • Ini memungkinkan RS memproyeksikan cash flow secara akurat.

  • Otomatisasi Validasi Kepesertaan: SIMRS harus terhubung langsung dengan sistem BPJS saat pendaftaran pasien untuk memastikan pasien memiliki status aktif, sehingga menghindari penolakan klaim yang sangat mendasar.


Memanfaatkan Supply Chain Financing (SCF) untuk Likuiditas Cepat

Ketika segala upaya percepatan klaim internal sudah dilakukan, dan keterlambatan masih terjadi karena faktor eksternal (BPJS), RS perlu buffer likuiditas. 

Supply Chain Financing (SCF), atau anjak piutang, adalah solusi populer di industri kesehatan.

Mekanisme dan Analisis Biaya-Manfaat SCF

SCF adalah skema di mana RS menjual piutang Klaim BPJS yang sudah diverifikasi (dan dijamin BPJS akan dibayar) kepada lembaga keuangan (Bank) dengan diskon tertentu.

  • Mekanisme: RS mengajukan piutang senilai Rp 10 Miliar. 
    • Bank mencairkan 95% (Rp 9.5 Miliar) ke RS dalam 7 hari kerja. 

    • Saat BPJS membayar Rp 10 Miliar, uang tersebut langsung masuk ke Bank.

  • Manfaat: Likuiditas langsung, RS dapat membayar supplier dan gaji tepat waktu.

  • Biaya (Analisis Biaya-Manfaat): Biaya fee (potongan diskon) sebesar 3% hingga 7% dari nilai klaim per tahun. 
    • Manajer Keuangan harus menghitung: Apakah biaya 3% ini lebih kecil daripada biaya kerugian reputasi, denda keterlambatan supplier, dan risiko operasional akibat kekurangan kas? Seringkali, biaya 3% lebih murah. 

    • SCF adalah strategi manajemen risiko likuiditas, bukan strategi peningkatan profitabilitas.


Diversifikasi Pendapatan dan Pelayanan Unggulan Non-JKN

Mengurangi ketergantungan pada satu sumber pendapatan adalah prinsip manajemen risiko fundamental bagi Keuangan Rumah Sakit.

  • Peningkatan Layanan Self-Pay: Kembangkan layanan unggulan non-JKN seperti Wellness Center, Executive Medical Check-Up (MCU), atau klinik estetika. 
    • Pendapatan dari self-pay menghasilkan cash flow tunai dan cepat, berfungsi sebagai buffer untuk biaya operasional saat menunggu Klaim BPJS.

  • Kerja Sama Asuransi Swasta: Aktif menjalin kerja sama dengan asuransi swasta yang memiliki term pembayaran yang lebih pendek dan prosedur klaim yang lebih sederhana. 
    • Pastikan tim billing menguasai regulasi dan format klaim asuransi swasta yang beragam.


Pelajari strategi keuangan Rumah Sakit untuk meningkatkan efisiensi dan mempercepat proses klaim BPJS yang sering terlambat.



Ringkasan Kunci dan Peta Jalan Implementasi

Mengoptimalkan Keuangan Rumah Sakit adalah upaya holistik yang menuntut sinergi antara Tim Medis (Kualitas Dokumentasi), Tim Keuangan (Analisis Biaya), dan Tim IT (Otomatisasi Klaim).

Tantangan Utama Solusi Kunci (Transaksional & Informasional) Indikator Keberhasilan (KPI)
Klaim BPJS Lambat Akselerasi koding (< 24 jam), Pengajuan Klaim Harian. AR Turnover (Piutang) < 60 hari.
Margin Tipis Implementasi Activity-Based Costing (ABC). Pengendalian stok JIT dan kepatuhan pada regulasi tarif. Cost-to-Charge Ratio (CCR) menurun; Cost Variance < 5%.
Dispute Klaim Tinggi Pelatihan coder bersertifikat. Integrasi RME-SIMRS untuk pre-claim check. Tingkat dispute klaim BPJS < 3%.
Likuiditas Tertekan Strategi Supply Chain Financing (SCF) terukur; diversifikasi revenue non-JKN. Current Ratio (Rasio Lancar) > 1.2.

Peta jalan implementasi harus dimulai dengan Audit Koding (Pilar 2), diikuti dengan Analisis Biaya (Pilar 1), dan diakhiri dengan Investasi Teknologi (Pilar 3) untuk menciptakan sistem yang berkelanjutan. 

Konsistensi dalam eksekusi akan mengubah ancaman likuiditas menjadi keunggulan operasional.



Tanya Jawab Cepat (FAQ)


1. Apa dampak Under-coding paling besar pada Keuangan Rumah Sakit?

  • Under-coding menyebabkan RS dibayar di bawah biaya riil yang dikeluarkan (rugi per kasus). 

  • Dampak terbesarnya adalah kerugian margin kumulatif yang masif. 

  • Dalam jangka panjang, kerugian ini menghabiskan modal kerja dan menghambat kemampuan RS untuk berinvestasi dalam teknologi medis.


2. Bagaimana cara meminimalkan Outlier Cost?

  • Outlier cost adalah biaya yang melebihi batas tarif paket. 

  • Cara meminimalkannya adalah dengan standarisasi protokol klinis (Clinical Pathway) dan manajemen formularium yang ketat. 

  • Pastikan penggunaan obat atau alat mahal non-Fornas hanya dilakukan jika benar-benar ada indikasi medis yang kuat dan tervalidasi.


3. Wajibkah Rumah Sakit menggunakan Factoring (Anjak Piutang)?

  • Tidak wajib. 

  • Factoring (SCF) adalah strategi manajemen risiko likuiditas, bukan peningkatan profit. 

  • Ini diperlukan jika AR Turnover RS secara konsisten melebihi 90 hari, mengancam pembayaran gaji dan supplier. 

  • Jika RS memiliki rasio lancar yang kuat, factoring dapat dihindari.


4. Apa peran Akuntan Publik dalam pengelolaan Keuangan Rumah Sakit terkait BPJS?

  • Akuntan Publik melakukan audit independen untuk memastikan RS mematuhi SAK (Standar Akuntansi Keuangan). 

  • Mereka membantu menilai risiko fraud, akurasi pencatatan piutang (terutama klaim yang diragukan), dan memberikan rekomendasi untuk meningkatkan Akuntansi RS serta internal control atas RCM.


5. Seberapa erat korelasi RME (Rekam Medis Elektronik) dan kecepatan Klaim BPJS?

  • Korelasinya sangat erat. 

  • RME yang terintegrasi (SIMRS) memastikan kelengkapan dokumen medis dan akurasi data yang diperlukan untuk koding. 

  • RME yang buruk memaksa coder mencari dokumen fisik, memperlambat proses koding dari 24 jam menjadi 5-7 hari, yang secara langsung memperlambat pencairan klaim.


6. Bagaimana Regulasi Tarif terbaru memengaruhi margin RS?

  • Regulasi Tarif (Peraturan Menteri Kesehatan) yang baru dapat memengaruhi margin dengan dua cara: menaikkan atau menurunkan tarif paket pada kasus tertentu, atau mengubah aturan koding yang dapat menyebabkan penolakan

  • RS harus selalu memantau pembaruan regulasi untuk segera menyesuaikan clinical pathway dan struktur Efisiensi Biaya.


7. Apa itu Case-Mix Index (CMI) dan mengapa penting untuk Keuangan Rumah Sakit?

Case-Mix Index (CMI) adalah rata-rata kompleksitas kasus yang ditangani RS. 

  • CMI tinggi (misalnya >1.5) berarti RS menangani kasus-kasus yang lebih berat dan berhak atas tarif paket yang lebih tinggi. 

  • Penting untuk Keuangan Rumah Sakit karena CMI yang rendah berarti RS bisa jadi hanya mengambil kasus ringan, atau yang lebih parah, mengalami under-coding pada kasus berat yang ditangani.


Sumber Referensi:

Terima kasih atas donasi Anda yang murah hati.