Mengapa Akreditasi Rumah Sakit Penting dan Bagaimana Lulus?
Seluruh RS wajib Akreditasi Rumah Sakit. Pahami kaitan erat mutu pelayanan dan keselamatan pasien untuk lulus standar JCI atau SNARS.
Blogger Health ~ implementasi SIMRS
Akreditasi Rumah Sakit merupakan pengakuan mutu yang esensial, berfokus pada keselamatan pasien dan manajemen risiko. Proses ini memastikan bahwa rumah sakit tidak hanya memenuhi, tetapi melampaui standar operasional minimum dan kepatuhan regulasi.
RS yang terakreditasi dapat menarik lebih banyak pasien, meningkatkan reputasi mutu, dan menjamin kerja sama dengan payer (BPJS/Asuransi). Namun, proses akreditasi sendiri sangat memakan sumber daya, waktu, dan biaya, mulai dari pelatihan SDM, pembaruan infrastruktur, hingga penyusunan dan implementasi dokumen.
Apakah biaya persiapan akreditasi sebanding dengan peningkatan pendapatan yang dihasilkan, atau ada manfaat tersembunyi lainnya, seperti mitigasi risiko tuntutan hukum, peningkatan moril staf, dan pembangunan budaya organisasi yang berpusat pada pasien? Jawabannya terletak pada transformasi akreditasi dari sekadar kewajiban menjadi mesin peningkatan mutu berkelanjutan.
Transformasi Wajib Institusi Kesehatan
Bayangkan sebuah kapal pesiar mewah. Kapal itu tidak hanya harus indah, tetapi juga harus memiliki sistem navigasi yang presisi, protokol keselamatan yang ketat, dan tim yang terlatih sempurna. Dalam dunia kesehatan, rumah sakit adalah kapal pesiar itu. Ia membawa tanggung jawab tertinggi: nyawa manusia. Kualitas layanan diukur bukan hanya dari kesembuhan, tetapi dari pencegahan bahaya (risiko). Inilah inti dari upaya untuk meningkatkan Manajemen Risiko dan Keselamatan Pasien.
Di Indonesia, setiap rumah sakit (RS) wajib mengimplementasikan sistem yang efektif untuk menjamin operasional yang aman dan bermutu. Tanpa sistem yang kuat, kerugian finansial, risiko reputasi, hingga ancaman tuntutan hukum akan selalu membayangi. Lantas, bagaimana cara memastikan sistem ini berjalan optimal, konsisten, dan terukur? Jawabannya terletak pada pilar fundamental: Akreditasi Rumah Sakit.
Untuk memahami bagaimana proses ini berkontribusi pada efektivitas operasional secara menyeluruh, Anda perlu mengetahui Apa Itu Manajemen Rumah Sakit dan Kenapa Wajib Efektif?
Artikel ini akan memandu Anda, para pemimpin dan praktisi kesehatan, dalam menavigasi kompleksitas proses akreditasi, mengubahnya dari sekadar kewajiban menjadi sebuah mesin peningkatan mutu yang berkelanjutan, fokus pada strategi transaksional untuk lulus Standar JCI atau SNARS.
Bagian 1:
Akreditasi Rumah Sakit – Lebih dari Sekadar Sertifikat
Akreditasi Rumah Sakit adalah sebuah mekanisme evaluasi eksternal yang dilakukan oleh lembaga independen yang ditunjuk (seperti Komite Akreditasi Rumah Sakit/KARS di Indonesia atau Joint Commission International/JCI secara global). Ini adalah pengakuan resmi bahwa rumah sakit telah memenuhi, dan secara konsisten menjalankan, Standar Mutu Pelayanan dan Keselamatan Pasien yang ditetapkan. Akreditasi menegaskan bahwa sistem di rumah sakit terstruktur, terdokumentasi, dan yang terpenting, terimplementasi.
1.1. Mengapa Akreditasi adalah Mandat, Bukan Opsi?
Bagi banyak RS, akreditasi seringkali dipandang sebagai "proyek tahunan" yang membebani. Namun, bagi para pemimpin yang berorientasi mutu, akreditasi adalah cerminan dari budaya organisasi sehari-hari. Ia adalah alat untuk mengendalikan variasi (variasi adalah musuh mutu) dan menciptakan lingkungan pembelajaran.
Tabel 1.1: Perbandingan Persepsi Akreditasi (Lama vs. Baru)
Aspek | Persepsi Lama (Wajib) | Persepsi Baru (Budaya Mutu) |
---|---|---|
Fokus Utama | Memenuhi dokumen & kertas kerja saat survei (paper compliance) |
Memastikan proses berjalan efektif 24/7 (Implementasi / Budaya Kepatuhan) |
Tujuan | Lulus sertifikasi untuk izin operasional atau klaim payer (BPJS / Asuransi). | Peningkatan berkelanjutan (Continuous Improvement) dan mitigasi risiko. |
Keterlibatan | Hanya Tim Akreditasi dan Manajemen Puncak. | Seluruh staf, dari petugas keamanan hingga dokter spesialis dan board of director. |
Dampak Jangka Panjang | Kelelahan staf pasca-survei (Post-Accreditation Fatigue) dan mutu kembali turun. |
Budaya belajar, Manajemen Risiko yang proaktif, dan loyalitas pasien jangka panjang. |
Menurut Blogger Health, upaya pemenuhan standar tanpa internalisasi filosofi mutu hanya akan menghasilkan "akreditasi palsu" yang rentan terhadap kegagalan layanan, peningkatan insiden, dan risiko hukum setelah survei selesai. Pengalaman otentik dalam menerapkan standar adalah kunci keberlanjutan.
Pilar Akreditasi:
1.2. Sasaran Keselamatan Pasien (Patient Safety)
Inti dari semua standar akreditasi, baik SNARS (Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit) maupun JCI, adalah Sasaran Keselamatan Pasien (Patient Safety Goals). Ini adalah area berisiko tinggi yang secara global telah menyebabkan insiden serius, sehingga wajib diatasi dengan standardisasi proses.
- Identifikasi Pasien yang Tepat: Penggunaan dua identitas unik sebelum pemberian obat, darah, pengambilan spesimen, dan prosedur.
- Peningkatan Komunikasi Efektif: Standarisasi komunikasi verbal, terutama saat serah terima (handover) pasien, menggunakan teknik SBAR (Situation, Background, Assessment, Recommendation).
- Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai (High Alert Medication): Pengelolaan yang ketat untuk obat-obat berisiko tinggi (LASA/NORUM) dan elektrolit konsentrat.
- Kepastian Tepat Lokasi, Tepat Prosedur, Tepat Pasien Pembedahan: Implementasi Universal Protocol (Sign-in, Time-out, Sign-out) dan Surgical Safety Checklist.
- Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan (IAD/HAIs): Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) yang komprehensif, termasuk kebersihan tangan 5 Momen.
- Pengurangan Risiko Cedera Pasien Akibat Jatuh: Asesmen risiko jatuh yang konsisten (misalnya, skala Morse atau Humpty Dumpty) dan implementasi intervensi (seperti pemasangan gelang kuning atau penggunaan tempat tidur rendah).
Transaksional Insight: Seluruh pilar keselamatan pasien di atas harus dibuktikan dengan implementasi nyata di lapangan (tracer activity) dan data objektif (melalui indikator mutu), bukan hanya di dokumen kebijakan. Surveior akan menanyakan langsung kepada staf pelaksana.
Bagian 2:
Manajemen Risiko – Fondasi Tak Tergoyahkan Akreditasi
Manajemen Risiko (MR) bukan sekadar bab pelengkap dalam akreditasi; ia adalah sistem perlindungan yang menjaga RS dari kerugian finansial, reputasi, dan medis. Dalam konteks akreditasi, MR adalah proses sistematis untuk mengidentifikasi, menganalisis, mengevaluasi, mengendalikan, dan memantau risiko yang dapat membahayakan semua pemangku kepentingan (pasien, staf, aset).
2.1. Siklus Manajemen Risiko dalam Praktik
Akreditasi menuntut bukti bahwa RS memiliki siklus manajemen risiko yang living dan berkelanjutan, terintegrasi ke dalam pengambilan keputusan sehari-hari.
A. Identifikasi Risiko (Proaktif vs. Reaktif)
Rumah sakit harus menggunakan dua pendekatan untuk mengidentifikasi potensi bahaya:
- Proaktif (Fokus Akreditasi JCI): Menggunakan alat seperti Failure Mode and Effect Analysis (FMEA). FMEA adalah alat yang berfokus ke depan, memprediksi potensi kegagalan (proses, sistem, atau peralatan) sebelum insiden terjadi.
- Contoh FMEA: Analisis risiko proses pengiriman obat dari farmasi ke ruang rawat.
- Reaktif: Menggunakan alat seperti Root Cause Analysis (RCA).
- RCA dilakukan setelah insiden terjadi (Sentinel Event, KTD/Kejadian Tidak Diharapkan).
- Contoh RCA: Analisis mengapa terjadi salah pasien saat prosedur radiologi.
B. Pengelolaan dan Mitigasi Risiko
Setelah diidentifikasi, setiap risiko harus dimasukkan ke dalam Risk Register dan dinilai (menggunakan matriks grading risiko: tingkat keparahan vs. probabilitas). Tindak lanjut (RTL) harus jelas:
- Penghindaran Risiko (Avoidance): Misalnya, tidak membeli alat yang kompleks jika SDM belum terlatih atau tidak memiliki kontrak pemeliharaan yang memadai.
- Pengurangan Risiko (Reduction): Memasang double-check pada prosedur berisiko tinggi atau menyediakan pelatihan yang intensif.
- Pengalihan Risiko (Sharing): Melalui asuransi malpraktik dan asuransi aset.
- Penerimaan Risiko (Acceptance): Menerima risiko sisa (residual risk) yang berada dalam batas toleransi setelah semua upaya mitigasi dilakukan.
- Wawasan Konsultan: Jangan hanya fokus pada risiko klinis. Akreditasi modern (SNARS dan JCI) sangat menyoroti risiko non-klinis:
- Risiko Operasional: Keamanan sistem EMR/IT, risiko bencana (HVA/Hazard Vulnerability Analysis), dan keamanan fasilitas (PCRA/Pre-Construction Risk Assessment).
- Risiko Governance: Konflik kepentingan, etika, dan kepatuhan regulasi.
Studi Kasus:
2.2. Transformasi Manajemen Risiko Menjadi Peningkatan Mutu
Sebuah rumah sakit swasta tipe B di Jakarta menghadapi tantangan tingginya angka penundaan operasi elektif yang disebabkan oleh hasil pre-operasi laboratorium yang tidak lengkap. Mutu operasional terganggu, dan pasien kecewa.
Tahapan | Tindakan Manajemen Risiko (Transaksional) | Dampak pada Akreditasi/Mutu |
---|---|---|
Identifikasi (RCA) | Ditemukan akar masalah: tidak adanya satu formulir checklist pre-operasi terpusat. Komunikasi antar unit (Poliklinik, Rawat Inap, OK) terjadi secara informal. | Memenuhi standar: peningkatan Komunikasi Efektif (KE) dan Akses & Kontinuitas Pelayanan (APK). |
Intervensi (FMEA) | Proses pengiriman pasien ke OK dianalisis menggunakan FMEA. Failure mode dengan RPS tertinggi: "kelengkapan dokumen pre-operasi gagal dicek." Dibuat SOP terintegrasi dan checklist wajib yang ditandatangani oleh dokter, perawat poliklinik, dan perawat ruangan. | Memenuhi standar: pengendalian Risiko Klinis dan indikator mutu — penundaan operasi turun 50% dalam 6 bulan. |
Monitoring | Dilakukan audit mingguan terhadap penggunaan checklist dan presentasi temuan pada rapat komite mutu bulanan. | Memenuhi standar: bukti Continuous Improvement yang diminta oleh surveior. |
Bagian 3: Membongkar Standar Akreditasi:
SNARS vs. JCI
RS di Indonesia memiliki opsi strategis antara dua standar utama: SNARS (wajib secara nasional) dan JCI (standar global). Pilihan ini mencerminkan ambisi dan target pasar RS.
3.1. Standar Nasional (SNARS) – Fokus Kepatuhan Regulasi
SNARS (Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit) adalah standar yang dikembangkan oleh KARS (Komite Akreditasi Rumah Sakit). Ini adalah standar wajib yang menjamin kepatuhan terhadap perundangan dan kebutuhan kesehatan masyarakat Indonesia.
- Kekuatan: Sangat selaras dengan regulasi di Indonesia, termasuk integrasi dengan sistem JKN/BPJS dan Program Prioritas Nasional (misalnya, penurunan angka kematian ibu/bayi, pengendalian TBC).
- Fokus Kunci: Program Nasional (Prognas), Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK), dan Tata Kelola Rumah Sakit (TKRS).
3.2. Standar Global (JCI) – Fokus Budaya Mutu & Global Benchmarking
JCI (Joint Commission International) adalah standar akreditasi internasional yang diakui secara luas, sering dipilih oleh RS yang ingin menarik pasien internasional atau menunjukkan komitmen mutu tertinggi (global benchmark).
Tabel 3.2: Perbandingan Filosifis JCI dan SNARS
Aspek | JCI (Edisi 8) | SNARS (Edisi 1.1) |
---|---|---|
Fokus Utama | Pengurangan variasi layanan (standardisasi global) & Budaya Mutu (Quality Culture). | Kepatuhan regulasi nasional dan Program Prioritas Nasional (Prognas). |
Penekanan Audit | Tracer Methodology yang sangat ekstensif — mengikuti alur pasien, staf, dan sistem (360 derajat). | Dokumentasi dan kepatuhan prosedur. |
Manajemen Risiko | Lebih detail pada Governance (tanggung jawab direksi), Risk in Data Management, dan Facility Safety (PCRA, HVA). | Terintegrasi dengan Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP). |
Biaya & Waktu | Lebih tinggi; membutuhkan sumber daya besar dan pemahaman mendalam tentang standar global. | Lebih terjangkau dan lebih familiar dengan konteks rumah sakit lokal. |
Keputusan Strategis: Semua RS di Indonesia harus lulus SNARS. RS yang ingin meningkatkan daya saing regional atau global harus mempertimbangkan JCI. Namun, Transaksional Takeaway yang penting adalah: fondasi SNARS yang kokoh harus dibangun terlebih dahulu. JCI adalah tentang konsistensi high-performance di setiap titik layanan.
Bagian 4: Strategi Lulus Akreditasi:
Panduan Praktis untuk Tim Mutu
Meluluskan Akreditasi Rumah Sakit bukan tentang 'persiapan kilat' 3 bulan sebelum survei, melainkan proyek transformasi budaya selama 1-2 tahun. Ini adalah panduan praktis berdasarkan pengalaman di lapangan.
Pra-Survei:
4.1. Membangun Fondasi (The 3-Pillar Approach)
Pilar 1:
Kepemimpinan dan Tata Kelola (Leadership & Governance)
- Keterlibatan Direksi (TKRS): Direksi harus menjadi champion mutu.
- Ini berarti alokasi anggaran yang jelas, waktu untuk pelatihan, dan buy-in dari seluruh staf.
- Mutu adalah tanggung jawab tertinggi direksi, bukan hanya Komite Mutu.
- Struktur Mutu yang Terintegrasi: Pastikan Komite Mutu, Komite Keselamatan Pasien, dan Komite PPI tidak berjalan sendiri-sendiri, melainkan terintegrasi di bawah satu kepemimpinan mutu.
- Audit Internal Wajib: Lakukan simulasi survei (pre-survey) dengan tracer activity oleh konsultan independen 6-9 bulan sebelum jadwal resmi.
- Ini adalah investasi yang krusial untuk menemukan 'wajah asli' RS.
Pilar 2:
Dokumen yang Hidup (Living Documents)
- Prinsip Less is More: Hilangkan SPO yang tidak aplikatif.
- Fokus pada penyusunan kebijakan, panduan, dan SPO yang benar-benar diterapkan dan mudah dipahami staf pelaksana.
- Sistem Pengendalian Dokumen (SKP): Gunakan sistem digital terpusat (online).
- Staf harus dapat mengakses dokumen versi terbaru secara real-time di tempat kerja mereka.
Pilar 3:
Pelatihan dan Kompetensi Staf (Staff Education & Competency)
- Pelatihan Role-Specific: Jangan hanya melatih semua orang tentang SKP 1.
- Latih perawat tentang hand hygiene dan risk assessment jatuh; latih dokter tentang KSM (Kewenangan Staf Medis) dan Clinical Pathway.
- Simulasi Kode Darurat: Pastikan tim Code Blue (Kardiovaskular), Code Red (Kebakaran), dan Code Pink (Penculikan Bayi) terlatih dengan drill dan refresher pelatihan setiap 3-6 bulan.
Saat Survei:
4.2. Menjalani Tracer Activity
Tracer Activity adalah metode utama surveior untuk menguji implementasi standar di lapangan, bukan di ruang rapat.
- Patient Tracer: Surveior memilih rekam medis acak dan mengikuti alur pasien dari pintu masuk hingga keluar.
- Mereka akan mewawancarai staf yang terlibat di setiap titik (pendaftaran, perawat, apoteker, dokter).
- Tips Lulus: Staf harus mampu menjelaskan apa yang mereka lakukan, mengapa mereka melakukannya (berdasarkan risiko), dan bagaimana mereka mencatatnya (di rekam medis).
- System Tracer: Fokus pada sistem tertentu (misalnya, Manajemen Penggunaan Obat/MPO, Manajemen Fasilitas dan Keselamatan/MFK).
- Surveior akan meminta data, bukti RCA/FMEA, dan RTL perbaikan.
- Tips Lulus: Tunjukkan data Indikator Mutu yang relevan, analisis (RCA/FMEA), dan program perbaikan yang sedang berjalan.
- Bukti perbaikan adalah emas.
Key Transaksional Takeaway: Jangan menyembunyikan masalah.
- Akreditasi (terutama JCI) menghargai transparansi.
- Tunjukkan bahwa Anda telah mengidentifikasi risiko, menganalisisnya, dan telah memulai upaya perbaikan berkelanjutan.
- RS yang sempurna adalah RS yang selalu menemukan celah untuk diperbaiki.
Pasca-Survei:
4.3. Continuous Improvement
Sertifikasi akreditasi adalah awal dari siklus, bukan garis akhir.
- Tindak Lanjut Rekomendasi: Siapkan Rencana Tindak Lanjut (RTL) yang terstruktur, terukur, dan memiliki penanggung jawab yang jelas untuk semua rekomendasi (EP/Elemen Penilaian) yang belum terpenuhi.
- Internal Audit Berkala: Pertahankan siklus audit internal 6-bulanan agar RS selalu dalam kondisi "siap akreditasi."
- Menghubungkan Mutu dengan Insentif: Integrasikan pencapaian mutu (penurunan insiden, kepatuhan SPO) ke dalam sistem penilaian kinerja dan insentif staf.
- Ini akan memelihara budaya mutu.
Bagian 5:
Dampak Ekonomi dan Reputasi Akreditasi
Kembali ke pertanyaan Apakah biaya persiapan akreditasi sebanding dengan potensi peningkatan pendapatan? Bagi RS yang melihat akreditasi sebagai transformasi sistem, jawabannya adalah ya, sangat sebanding, namun manfaatnya bersifat jangka panjang dan strategis.
5.1. Manfaat Tersembunyi (Non-Finansial)
- Mitigasi Risiko Hukum dan Reputasi: Rumah sakit yang terakreditasi memiliki SPO yang jelas dan bukti due diligence (upaya kelayakan) yang terdokumentasi dalam menjaga keselamatan pasien.
- Ini adalah lini pertahanan terkuat dalam kasus malpraktik atau tuntutan hukum.
- Akreditasi mengurangi biaya dan kerugian akibat insiden (biaya penanganan insiden dan tuntutan).
- Peningkatan Moril Staf dan Retensi: Bekerja dalam sistem yang terstruktur, aman, dan berfokus pada kualitas meningkatkan rasa profesionalisme dan kepercayaan diri staf.
- Ini mengurangi turnover (pergantian staf) yang mahal dan meningkatkan loyalitas.
- Hubungan dengan Payer (BPJS/Asuransi): Di Indonesia, akreditasi adalah prasyarat mutlak untuk kerja sama dengan BPJS Kesehatan dan banyak asuransi komersial.
- Tanpa akreditasi, RS kehilangan akses ke pasar pasien terbesar.
5.2. Peningkatan Reputasi dan Volume Pasien (Finansial)
Akreditasi, terutama JCI, adalah marketing tool yang efektif dan kredibel. Pengakuan mutu eksternal ini menciptakan brand trust di mata pasien dan stakeholder.
- Peningkatan Word-of-Mouth: Mutu yang terjamin dan konsisten meningkatkan rekomendasi dari mulut ke mulut, yang merupakan bentuk pemasaran paling efektif.
- Peningkatan Case Mix: RS yang terakreditasi, khususnya JCI, sering dipercaya untuk menangani kasus-kasus yang lebih kompleks dan berisiko tinggi (misalnya, center of excellence), yang secara langsung meningkatkan pendapatan per kasus.
- Keunggulan Kompetitif: Di area dengan banyak RS, akreditasi (dan status paripurna/platinum) menjadi pembeda utama dalam keputusan pasien.
Frequently Asked Questions (FAQ)
1. Apa bedanya Akreditasi dan Lisensi (Izin Operasional)?
- Akreditasi adalah pengakuan mutu yang diberikan oleh lembaga independen (KARS/JCI) bahwa RS telah memenuhi standar kualitas di atas batas minimum.
- Lisensi (Izin Operasional) adalah izin wajib dari pemerintah (Dinas Kesehatan) yang menyatakan RS telah memenuhi standar minimum fasilitas, SDM, dan peralatan untuk dapat beroperasi secara legal.
- Lisensi bersifat legal, akreditasi bersifat mutu.
2. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan Akreditasi JCI dari Nol?
- Persiapan Akreditasi JCI dari RS yang belum memiliki fondasi mutu yang kuat (di luar SNARS) biasanya membutuhkan waktu 18 hingga 24 bulan.
- Waktu ini digunakan untuk pelatihan SDM, standardisasi dokumen (seringkali diterjemahkan ke bahasa Inggris), dan yang paling krusial, internalisasi budaya patient safety dan high reliability organization yang diminta JCI.
3. Apa itu Sentinel Event dan bagaimana kaitannya dengan Manajemen Risiko?
- Sentinel Event adalah suatu Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang mengakibatkan kematian atau cedera serius (seperti kehilangan fungsi permanen) yang tidak terkait dengan perjalanan penyakit alaminya.
- Kejadian ini memerlukan investigasi segera.
- Dalam Manajemen Risiko, setiap Sentinel Event wajib diinvestigasi menggunakan alat Root Cause Analysis (RCA) untuk menemukan akar masalah sistemik dan mencegah terulang kembali.
4. Siapa yang bertanggung jawab utama jika RS gagal dalam proses Akreditasi?
- Tanggung jawab utama ada pada Direktur Utama/Direksi Rumah Sakit (Board of Director).
- Standar Tata Kelola (TKRS pada SNARS/Governance pada JCI) menegaskan bahwa Direksi bertanggung jawab penuh untuk menetapkan strategi mutu, menyediakan sumber daya, dan memastikan buy-in seluruh organisasi.
- Tim Mutu adalah pelaksana dan koordinator teknis.
5. Bagaimana cara tim Mutu mengoptimalkan Tracer Activity sehari-hari?
- Tim Mutu harus melakukan Internal Tracer secara rutin (mingguan atau bulanan), bukan hanya menjelang survei.
- Pilih alur pasien secara acak dan ikuti jejaknya, sambil mewawancarai staf pelaksana.
- Gunakan temuan tracer untuk pelatihan yang ditargetkan dan perbaikan sistem (tunjukkan data), bukan untuk menghukum staf.
6. Apakah SNARS mengadopsi standar internasional?
- Ya, SNARS (Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit) secara historis dan filosofis mengadopsi kerangka kerja internasional dari organisasi seperti ISQua (International Society for Quality in Health) dan banyak standar JCI Edisi awal, namun SNARS mengintegrasikannya dengan regulasi, Program Prioritas Nasional, dan konteks sistem kesehatan di Indonesia.
7. Apa perbedaan mendasar antara FMEA dan RCA?
- FMEA (Failure Mode and Effect Analysis) adalah alat proaktif (maju ke depan) yang mengidentifikasi potensi kegagalan dalam proses berisiko tinggi dan menganalisis dampaknya sebelum kegagalan terjadi, tujuannya untuk mendesain ulang proses yang lebih aman.
- RCA (Root Cause Analysis) adalah alat reaktif (mundur ke belakang) yang digunakan setelah insiden serius terjadi untuk menemukan akar penyebab masalah sistemik yang mendasarinya.
Penutup dan Call-to-Action
Akreditasi Rumah Sakit adalah perjalanan tanpa akhir dalam mengejar keunggulan layanan. Ini adalah investasi wajib dalam keselamatan pasien dan keberlanjutan bisnis. Dari Manajemen Risiko yang proaktif (FMEA) hingga implementasi Standar JCI/SNARS yang ketat (Tracer Activity), setiap langkah yang Anda ambil membangun benteng pelindung bagi pasien, staf, dan aset Anda.
Tantangan terbesar bukanlah survei itu sendiri, melainkan menjaga budaya mutu tetap menyala setelahnya. Ubah paradigma dari "memenuhi syarat" menjadi "budaya unggul."
Lantas, bagaimana implementasi Manajemen Risiko di RS Anda saat ini? Apakah proses tracer activity sudah berjalan mulus, atau masih terasa sebagai beban?
Bagikan pendapat Anda dan tantangan unik yang Anda hadapi di kolom komentar!
Sumber Referensi
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI): Kemenkes tentang Akreditasi atau Mutu Pelayanan.
- Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS): standar SNARS terbaru atau website resmi KARS
- Joint Commission International (JCI): standar JCI terbaru atau laman resmi JCI tentang Patient Safety Goals
- Peraturan Pemerintah/Menteri Kesehatan terkait Rumah Sakit dan Keselamatan Pasien: UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit atau Permenkes terkait Mutu
- World Health Organization (WHO): laman WHO tentang Global Patient Safety
Posting Komentar untuk "Mengapa Akreditasi Rumah Sakit Penting dan Bagaimana Lulus?"
Posting Komentar